Waktu telah menunjukkan pukul 04.30, bus yang saya tumpangi akhirnya sampai di terminal Garut. Tak disangka bila ternyata butuh waktu sekitar 5 jam untuk mencapai Garut dari Jakarta ketika saya dan 12 orang teman akan mencoba menjelajahi keindahan gunung Papandayan. Beranjak dari terminal Garut, kami meneruskan perjalanan dengan menyewa mobil yang langsung mengantar hingga kaki gunung Papandayan. Semakin mendekati kaki gunung, kami pun disambut dengan jalanan yang semakin rusak dan udara dingin menyergap begitu eratnya, hingga saat kami berbicara mulut mengeluarkan asap layaknya sedang berada di negara-negara yang memiliki 4 musim.
Sebelum pendakian dimulai, saya dan teman-teman diharuskan mendaftarkan diri di pos penjagaan sekaligus memberikan uang sumbangan untuk konservasi gunung Papandayan. Tampaknya hari ini, cukup banyak rombongan-rombongan yang juga akan melakukan pendakian, terlihat dari karil-karil besar mereka yang tersebar di berbagai sisi kaki gunung.
Jalur pendakian Papandayan cenderung berbatu dan gersang. Sehingga waktu yang paling tepat untuk mendaki gunung ini adalah saat pagi hari, yaitu ketika udara Garut masih terasa sejuk dan sinar matahari belum terlalu menyengat. Sedangkan selama mendaki, kita akan mendapat sajian pemandangan beberapa kawah belerang yang mengepulkan asap. Sehingga tak heran bila ketika angin bertiup kencang, pekat bau belerang akan seketika tercium.
Beruntung, ditengah penelusuran lereng-lereng Papandayan, kami menyaksikan atraksi yang cukup menarik perhatian. Tak jauh dari jalur pendakian, terlihat geliat beberapa Moto Rider mencoba menaklukan setiap lekukan batu-batu kapur. Ternyata tak hanya kami para pejalan yang tengah berusaha untuk berkawan dengan gunung ini, para Moto Rider handal itu memperlihatkan bahwa mereka memiliki caranya sendiri dalam menjalin persahabatan dengan alam ini.
Semakin jauh perjalanan, pemandangan tersaji sungguh sangat menakjubkan. Lembah yang menghijau segar berlatar gunung berselimut awan seketika membuat beban kelelahan selama perjalanan menjadi lebih ringan terasa. Setelah berjalan sekitar 4 jam, akhirnya kami sampai di area Padang Salada. Sebuah hamparan luas menghijau dengan dikelilingi benteng berupa bukir batuan kapur sebagai tempat dimana kami dapat mendirikan tenda untuk berkemah. Sementara tampak dikejauhan beberapa tenda telah didirikan para penjelajah yang telah lebih dulu tiba, sehingga saya dan teman-teman pun mulai mencari sudut yang tepat untuk memulai kemah ceria di musim panas ini. Karena tak jauh dari area padang salada ini terdapat sumber air, kami atau siapapun yang ada disini tidak perlu takut kekurangan air.
Tenda sudah berdiri, saatnya memasak untuk mengisi energi yang sudah terkuras selama pendakian. Setelah beberapa saat ketika sore mulai menjelang, saya dan beberapa teman mulai meng-eksplor kawasan lain di sekitar padang salada, yaitu kawasan Padang Edelweiss dan Hutan Mati.
Perlahan Matahari mulai menghilang di ufuk barat, meninggalkan langit yang sudah mulai gelap dan udara dingin semakin erat menyergap menusuk kulit hingga tulang. Musim panas, membuat udara di pegunungan menjadi semakin dingin. Waktu yang tepat untuk menghangatkan diri dengan api unggun, sayangnya kayu-kayu yang telah dikumpulkan ternyata tak berhasil membuat kobaran api yang cukup besar.
Pesona malam yang semakin pekat yang semakin nyata memperlihatkan taburan bintang berpijar indah memenuhi langit Papandayan telah membius saya hingga tak sadar telah merebahkan diri hanya dengan beralaskan padang rumput. Sebuah pemandangan yang jarang bisa saya nikmati karena cahaya-cahaya lampu kota yang terlalu terang berbalut selimut polusi membuat pijaran bintang menjadi kabur dan sulit terlihat. Namun, sepertinya tubuh ini masih terlampau ringkih untuk menghadapi suhu udara yang terlalu dingin dan akhirnya berhasil memaksa saya beranjak karena tak bisa berlama-lama menikmati bintang hanya beralaskan padang rumput.
Pagi masih sangat muda ketika saya mulai bergegas untuk melihat matahari terbit. Namun sepertinya kali ini keberuntungan tidak berpihak pada kami semua yang ada di Padang Salada, karena kabut yang sedikit menutupi membuat saya tidak dapat menikmati matahari terbit dengan sempurna.
Pendakian ke puncak Papandayan pun kembali berlanjut. Semakin mendekati puncak, jalur yang dilalui pun menjadi semakin menantang berupa bebatuan besar yang membentuk sudut hampir 45 derajat. Sungguh sangat menantang Adrenalin. Setelah berusaha menaklukan jalur bebatuan yang cukup menguras energi, akhirnya saya sampai di Tegal Alun. Disini kami dimanjakan dengan sajian sebuah padang Edelweiss yang terhampar luas. Sedangkan di sisi lain, dari Tegal Alun ini kita juga dapat dengan leluasa memandang ke area Padang Salada yang dihiasi taburan tenda-tenda beragam warna.
Beranjak meninggalkan Tegal alun, jalur pendakian menjadi semakin rapat hingga sesekali saya bahkan main prosotan... :P. Setelah sekitar 1 jam perjalanan yang cukup menguras energi, akhirnya saya dan teman-teman mencapai puncak tertinggi gunung Papandayan. Dari puncak ini, saya dapat memandang luas kesuluruh area gunung Papandayan. Terlintas dalam benak, memang tak salah bila Papandayan-Garut seringkali disebut Switzerland Van Java, begitu asri, begitu hijau dan begitu sejuk yang seketika membuat kelelahan sepanjang perjalanan menguap tanpa bekas.
Sumber :http://www.landscapeindonesia.com/blog/perjalanan/385-gunung-papandayan-switzerland-van-java
Labels:
Wisata Kuliner Garut
Thanks for reading Indahnya Gunung Papandayan Switzerlan Van Java Indonesia. Please share...!